Rabu, 07 Desember 2016

Hakikat Manusia Dalam Filsafat Islam

A. Pendahuluan

Pemikiran tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini juga belum berakhir dan munkin tak akan pernah berakhir. Ternyata orang menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyelidiki manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang menyelidiki dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya. Sedangkan yang menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat.

Memikirkan dan membicarakan hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tak henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang mendasar tentang manusia itu sendiri, yaitu apa dari mana dan mau kemana manusia itu.

Oleh karena itu pada makalah ini kami akan membahas tentang hakikat manusia dalam filsafat pendidikan islam yang meliputi hakikat Allah menciptakan manusia, apa hakikat manusia, mengapa manusia memerlukan pendidikan, dan mengapa manusia bisa di didik. Semoga dengan pembhasan ini dapat menambah wawasan bagi kita dalam memahami hakikat diri kita sebagai manusia di muka bumi ini.


B. Hakikat Allah Menciptakan Manusia

Manusia disisi Allah adalah sebagai salah satu ciptaan (makhluk) Allah. Sebagaimana dalam QS. 96 : 2“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” QS. 2 : 21“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”

Makna yang paling mendasar yang dapat diambil dari hal ini (manusia sbg makhluk) adalah bahwa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sesungguhnya semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sedangkan Allah Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, keterbatasan atau kelemahan.Yang menunjukkan hal tersebut adalah ucapan “Subhanallah”, “Maha Suci Allah dari serba kekurangan dan keterbatasan”. Oleh karena itu tidaklah pantas manusia sebagai ciptaan untuk menyombongkan dirinya. Allahlah yang pantas untuk sombong, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna.

Allah swt memeberikan keutamaan lebih kepada manusia dari pada makhluk yang lain. Manusia dilantik menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka bumi ini untuk memakmurkannya. Oleh karena itu dibebenkan kepada manusia amanah Attaklif, dan diberikankan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai kemuliaan.

Kemuliaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna kulitnya, kecancikannya, perawakannya, harta, derajatnya, akan tetapi semata-mata karena iman dan dan taqwanya kepada Allah swt.

Semua itu dijelaskan dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 21 yang artinya “ Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertaqwa “

Dan ayat 30 yang artinya “ Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malikat, “aku hendak menjadikan khalifah dimuka bumi” mereka berkata apakah engkau akan menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan aku memuji-Mu dan menyucikan-Mu, Dia berfirman sungguh aku mengetahui apa ynag tidak kamu ketahui “
Allah swt juga menjelaskan hakikat ciptaan manusia dalam surat az-zariyat ayat 56 yang artinya “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku ”
C. Hakikat Manusia

Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga unsur tersebut sama pentingnya untuk di kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.

Unsur jasmani merupakan salah satu esensi ( hakikat ) manusia sebagai mana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 168 yang artinya “ Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dari bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syuetan itu adalah musuh yang nyata bagimu “

Akal adalah salah satu aspek terpenting dalam hakikat manusia. Akal digunakan untuk berpikir, sehingga hakikat dari manusia itu sendiri adalah ia mempunyai rasa ingin, mempunyai rasa mampu, dan mempunyai daya piker untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini.

Sedangkan aspek ruhani manusia di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 29 yang artinya “ Tatkala aku telah menyempurnakan kejadiannya, aku tiupkan kedalamnya ruhku.kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “

Dalam hal ini muhammad Quthub menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani, akal, dan ruh, yang mana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.

D. Manusia Memerlukan Pendidikan

Bagi filsafat pendidikan penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia merupakan hal yang amat penting dan vital. Sebab manusia merupakan unsur terpenting dalam usaha pendidikan. Tanpa tanggapan dan sikap yang jelas tentang manusia pendidikan akan merasa raba.

Bahkan pendidikan itu sendiri itu dalam artinya yang paling asas tidak lain adalah usaha yang dicurahkan untuk menolong manusia menyingkap dan menemukan rahasia alam memupuk bakat dan dan mengarahkan kecendrungannya demi kebaikan diri dan masyarakat . usaha itu berakhir dengan berlakunya perubahan yang di kehendaki dari segi social dan psikologis serta sikap untuk menempuh hidup yang lebih berbahagia dan berarti.

Manusia mengalami proses pendidikan terus berlangsung sampai mendekati waktu ajalnya. Proses pendidikan adalah life long education yang dilihat dari segi kehidupan masyarakat dapat dikatakan ebagai proses yang tanpa akhir.

Bila dipandang dari segi kemampuan dasar pedagogis, manusia dipandang sebagai “homo edukadum” mahluk yang harus dididik, atau bisa disebut “animal educabil ” mahluk sebangsa binatang yang bisa dididik, maka jelaslah bahwa manusia itu sendiri tidak dapat terlepas dari potensi psikologis yang dimiliknya secara individual berbeda dalam abilitas dan kapabilitasnya, dari kemampuan individual lainnya. Dengan berbedanya kemampuan untuk dididk itulah fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah melakukan seleksi melalui proses pendidikan atas pribadi manusia.
Dari segi sosial psikologis manusia dalam proses pendidikan juga dapat dipandang sebagai mahluk yang sedang tumbuh dan berkembangdalam proses komonikasi antara individualitasnya dengan orang lain atau lingkungan sekitar dan proses membawanya kea rah pengembangan sosialitas dan moralitasnya. Sehingga dalam proses tersebut terjadilah suatu pertumbuhan atau perkembangan secara dealiktis atau secara interaksional antara individualitas dan sosialitas serta lingkungan sekitarnya sehingga terbentuklah suatu proses biologis, sosiologis, dan psikologis.

E. Manusia Bisa Dididik

Kemampuan belajar manusia sangat berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal terhadap obyek-obyek pengamatan melalui panca indranya. Membahas kemampuan mengetahui dan mengenal tidak dapat terlepas dari filsafat dalam bidang epistimologi. Karena filsfat ini menunjukkan kepada kita betapa dan sejauh mana manusia dapat mengetahui dan mengenal obyek-obyek pengamatan disekitarnya. Apa pengetahuan itu, cara mengetahui, dan memperoleh pengetahuan serta berbagai jenis pengalaman indrawi.

Panca indera manusia adalah merupakan alat kelengkapan yang dapat membuka kenyataan alam sebagai sumber pengetahuannya yang memunkinkan dirinya untuk menemukan hakikat kebenaran yang diajarkan oleh agamanya atau oleh Tuhannya. Panca indera manusia merupakan pintu gerbang dari pengetahuan yang makin berkembang. Oleh karena itu Allah mewajibkan panca indera manusia untuk digunakan menggali pengetahuan.

Dalam hal ini islam lebih cenderung untuk menegaskan bahwa perpaduan antara kemampuan jiwa dan kenyataan materi sebagai realita merupakan sumber proses “mengetahui” manusia yang keduanya merupakan “kebenaran”menurut ukuran proses hidup manusiawi bukan Ilahi. Kebenaran yang hakiki hanyalah Tuhan sendiri, dan kebenaran hakiki inilah yang menciptakan segala kenyataan alami dan manusiawi dengan diberi mekanisme hukum-hukumnya sendiri. Bila Ia menghendaki mekanisme itu bisa di rubah menurut kehendaknya.

F. Teori Emanasi Al Farabi

Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870 M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki.

Al-Farabi dipandang sebagai filosof Islam pertama yang berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204 – 270 M) yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia Barat. Jika orang Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yūnānī (guru besar dari Yunani), maka mereka menyebut al-Farabi sebagai al-Mu’allim al-Tsānī (guru kedua) di mana “guru pertama”-nya disandang oleh Aristoteles. Julukan “guru kedua” diberikan pada al-Farabi karena dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato.

Melalui karya al-Farabi berjudul al-Ibānah ‘an Ghardh Aristhū fī Kitāb Mā Ba’da al-Thabī’ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika). Karya al-Ibānah inilah yang membantu para filosof sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filosof besar sesudah al-Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan dia menghafalnya, tetapi diakui bahwa dirinya belum mengerti juga. Namun setelah membaca kitab al-Ibānah karya al-Farabi yang khusus menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik-nya Aristoteles.

Sekilas tentang Pemikiran Filsafatnya, Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran.

Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal). Adapun sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2. Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3. Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4. Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5. Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6. Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7. Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8. Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9. Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10. Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori:
1. esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]).
2. esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.

Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya:
1. daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction);
2. daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan
3. daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī).

Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan:
1. al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya;
2. al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial;
3. al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi. Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.

G. Simpulan

Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa pada hakikatnya Allah swt menciptakan manusia di muka bumi ini adalah semata-semata untuk mengabdi kepada-Nya dan untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Hakikat penciptaan manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani, yang mana ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan pada diri manusia.

Dalam pemikiran filsafatnya, Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar